Diposting Oleh : BMQ AT-TARTIL BOJONEGORO
Rabu, 12 Februari 2014
ADAB-ADAB MEMBACA AL-QUR’AN
1. Membersihkan mulut dengan memakai siwak atau dengan cara lainnya sebelum membaca al-qur’an.
Sebelum membaca al-qur’an disunahkan untuk bersiwak. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari sahabat Ali bin Abu Tholib radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda;
إِنَّ أَفْوَاهَكُمْ طُرُقٌ لِلْقُرْآنِ، فَطَيِّبُوهَا بِالسِّوَاكِ
“Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan bagi Al Qur`an, maka harumkanlah dengan bersiwak.” (Sunan Ibnu Majah, no.291)
Bersiwak yang paling baik dikerjakan dengan memakai kayu arok, namun juga bisa dikerjakan dengan menggunakan benda-benda lain yang bias berfungsi seperti kayu arok, seperti kain yang kasar, sikat atau benda-benda lain.
2. Berwudlu sebelum membaca al-qur’an bagi orang yang berhadats kecil.
Orang yang berhadats kecil diperbolehkan membaca al-qur’an berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama’. Sedangkan orang yang berhadats besar, seperti orang yang junub dan sedang haidh dilarang membaca al-qur’an, namun diperbolehkan membaca al-qur’an didalam hati saja, begitu juga diperbolehkan melihat mushaf al-qur’an dan membaca do’a dan dzikir bagi orang yang sedang berhadats besar.
Diantara dalil diperbolehkannya membaca al-qur’an bagi orang yang berhadats kecil adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ali bin Abu Tholib radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي الْخَلَاءَ، فَيَقْضِي الْحَاجَةَ، ثُمَّ يَخْرُجُ، فَيَأْكُلُ مَعَنَا الْخُبْزَ، وَاللَّحْمَ، وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ، وَلَا يَحْجُبُهُ - وَرُبَّمَا قَالَ: لَا يَحْجُزُهُ - عَنِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ، إِلَّا الْجَنَابَةُ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam WC dan menyelesaikan hajatnya, kemudian beliau keluar lalu makan roti dan daging serta membaca Al Qur`an bersama kami, dan tidak ada yang menghalanginya, -dan mungkin saja ia mengatakan; - "tidak ada yang menghalanginya untuk membaca Al Qur`an selain junub.” (Sunan Ibnu Majah, no.594)
Meski begitu sebelum membaca al-qur’an disunahkan untuk berwudhu terlebih dahulu. Dalam satu hadits dijelaskan;
عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى تَوَضَّأَ، ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ " إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ: عَلَى طَهَارَةٍ
“Dari Al Muhajir bin Qunfudz Bahwasanya dia pernah menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau sedang buang air kecil, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi, namun beliau tidak menjawab salamnya hingga berwudhu, kemudian beliau meminta maaf seraya bersabda: "Sesungguhnya aku tidak suka menyebut Nama Allah Ta'ala kecuali dalam keadaan suci.” (Sunan Abu Dawud, no.17)
3. Memilih tempat yang baik dan bersih untuk membaca al-qur’an.
Membaca al-qur’an hendaknya memilih tempat yang baik dan bersih, karena itulah para ulama’ menganjurkan untuk membaca al-qur’an dimasjid, alasannya sebab pada umumnya masjid itu bersih dan masjid adalah tempat yang dimuliakan, selain itu tujuannya untuk memperoleh pahala mengerjakan i’tikaf didalam masjid.
Allah berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
“Di rumah-rumah Allah (masjid) yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,” (Q.S. An-Nur : 36)
Syekh Wahabah Zuhaili dalam Tafsir Munir menjelaskan; ayat ini memberi petunjuk dan perintah untuk imaroh (meramaikan) masjid. Imaroh masjid secara fisik (hissiyah) dilakukan dengan cara membangun masjid, sedangkan imaroh non-fisik (maknawiyah) dilakukan dengan cara mengerjakan sholat, berdzikir, mengadakan pengajian dan membaca al-qur’an didalam masjid.
4. Duduk dengan tenang saat membaca al-qur’an
Membaca al-qur’an boleh dilakukan dalam posisi berdiri, duduk bahkan dengan berbaring. Allah berfirman;
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ () الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imron : 190-191)
Dalam satu hadits juga dijelaskan bahwa rasulullah pernah membaca qur’an sambil berbaring, sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidah A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّكِئُ فِي حِجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ، فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersandar (dengan kepalanya) pada pangkuanku, sedangkan aku dalam keadaan sedang haid, lalu beliau membaca al-qur'an.” (Shahih Bukhari, no.297 dan Shahih Muslim, no.301)
Imam Nawawi dalam kitab “At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an” menjelaskan; orang yang membaca al-qur’an hendaknya duduk dengan khusyu’, tenang, berwibawa, menundukkan kepalanya, dan duduk yang dilakukannya meskipun sendirian hendaknya seperti ketika ia duduk dihadapan gurunya. Cara seperti itu adalah yang paling sempurna, namun jika seseorang membaca qur’an sambil berdiri, berbaring atau yang lainnya maka hal tersebut diperbolehkan dan tetap mendapatkan pahala, hanya saja pahala yang didapatkan lebih sedikit disbanding yang pertama (cara yang paling sempurna).
5. Menghadap kiblat saat membaca al-qur’an
Membaca al-qur’an hendaknya dilakukan dengan menghadap ke kiblat. Imam Thobroni meriwayatkan satu hadits dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَكْرَمُ الْمَجَالِسِ مَا اسْتُقْبِلَ بِهِ الْقِبْلَةُ
“Majlis yang paling mulia adalah majlis yang menghadap kiblat.” (Al-Mu’jam Al-Ausath, no.8361